Tak Pernah Bosan Menatap Lekat Senja

Tak Pernah Bosan Menatap Lekat Senja 






Perlahan mengayuh sepeda, sedikit terdengar desir engah napasnya. Ia singgah ke sebuah tempat setelah mata kuliah terakhir usai diemban. Tempat yang tidak begitu spesial, dimana ia sering menatap lekat senja berlama-lama. Ada apakah gerangan dengan senja, tanya pepohonan kecil sedang mengherani lelaki yang duduk tidak jauh dari tempat akar-akarnya menancap. Tempat itu bernama Embung. Di sanalah, lelaki itu betah memandang terjadinya peralihan dari terang menuju gulita, menikmati sepoi angin berembus menghantam wajahnya yang muram laksana tak pernah tersentuh embun pagi. Seolah angin mencoba menghapus muram diwajah itu.

Senyum sesekali tertoreh di wajahnya, hanya saja nampak sebuah keterpaksaan terkandung di dalamnya, layaknya tak iklas ia akan tersenyum. Dengan pembawaan mimik yang  tidak terlihat begitu ramah, maka tiada seorang pun ingin menghampiri lelaki itu, terlelap dalam dimensi renung. Menurut lelaki itu cukuplah sepi yang bisa jadi pelengkap lamunannya. Di embung itu pula tempat makhluk bernama mahasiswa singgah dengan bermacam-macam aktivitas dilakukan, seperti bercumbu dengan lawan jenis, berkumpul membahas tugas kelompok, menjaja makanan ringan, mengobrol dengan rekan satu unit kegiatan dan masih banyak kesibukan lainnya. Sehingga untuk datang di tempat ini, lelaki itu harus memilih letak koordinat yang benar-benar cocok untuknya meratap.

Sepotong kisah terselip dibalik wajah yang muram itu. Logika datangnya sebuah muram tentulah identik dengan adanya sebuah masalah. Pun tiada seorang yang mengharapkan datangnya sebuah masalah, namun masalah datang tanpa ada sebuah surat pengantar terlebih dahulu. Tak perlu izin darimu. Tak peduli lantaran kau siap atau tidak menyambut kedatangannya. Ia datang tanpa pandang bulu, meski manusia yang disinggahinya sudah diterpa seribu satu masalah lainnya. Lelaki itu sebenarnya ingin berbagi masalah dengan manusia lainnya, tapi siapa yang ingin diajak berbagi masalah, karena sejatinya manusia takut dengan adanya masalah.

Resah selimuti hati, ke mana seorang wanita yang didamba sebagai teman hidupnya kini berada, tanyanya dalam benak. Ya, Amanda namanya. Terbawa  air pada tanah yang kerontang, barangkali ia menghilang bersamanya. Bulir-bulir bening perlahan jatuh dari mata sayu lelaki itu, membasuh rumput yang semarak menanti datangnya penghujan. Ia telah ditikam oleh suatu hal yang dianggap karunia baginnya. Bagai burung yang telah hilang satu sayapnya, terseok-seok memaksa diri untuk mengangkasa gapai nirwana. Namun tidak banyak yang dilakukannya kini, mengerami putus asa sembari melarutkan sedih di dalam senja. Ditikam sejuta tanya.

Senja perlahan berpisah dengan mata sayu lelaki itu. Meninggalkan serpihan warna jingga menghias ufuk oleh pesonanya. Dan baginya Amanda laksana senja, datang dengan sejuta pesona hanya saja rentang periode hadirnya yang membuat ia kecewa. Tapi nyatanya tidak harus melulu tentang senja yang indah. Apakah kau tahu bahwa malam juga indah, kau bisa melihat jutaan bintang bersinar terang dan bulatnya bulan kala purnama. Namun baginya malam bukanlah waktu yang tepat untuk menikmati bintang ataupun purnama. Sebab malam adalah waktu terbaik untuk istirahat baginya, menenangkan urat syaraf yang hampir kejang sebab tak pernah henti ia memikirkan Amanda.

Ada satu kejadian yang masih melekat dalam ingatannya. Tak jarang pula kejadian ini menjadi pengusik cerita dalam mimpinya. Pada suatu senja, ia pergi bersama Amanda selesai jam kuliah menuju ke sebuah kafe. Kafe yang letaknya tidak terlalu jauh dari universitasnya. Sekedar menghabiskan senja bersama. Biasanya mereka tak jemu bertutur kata saling melempar tawa dalam romansa. Namun kali ini berbeda tenggelam dalam keasyikan dengan buku berada di tangan mereka masing-masing tanpa satu patah kata pun yang terlontar.

Tak berapa lama, tersentak lelaki itu ketika mendapati wanitanya mual. Tak keruan pikirannya, kenapa ia ajak keluar gadis yang sedang sakit. Jika memang sakit, kenapa tak ia temukan pucat di tiap sudut wajah Amanda. Setelah usai membuang rasa mual keluarlah Amanda dari kafe itu, berjalan cepat sembari mengusap bulir yang merekah di pelupuk matanya dan bagai sudah tak sudi lagi diajak bicara. Dengan sigap lelaki itu berlari, mencoba meraih lengan wanitanya, mencegah kepergian Amanda. Siapa yang tega melihat sorang wanita berjalan kaki sendiri dalam keadaan penuh isak. Tak mau ditinggal, ia desak untuk mengantarkan wanitanya, Tapi Amanda menolak. Meski begitu tak surut lelaki itu mendesak dan berujung pada sebuah tamparan keras dari Amanda. Diperlakukan layaknya seorang penjahat. Heran ia atas perilaku Amanda. Ada apa gerangan sampai hati menampar wajahnya. Lelaki yang sudah menjadi pacarnya setelah sekian lama.

Usai kejadian itu, tak kunjung ia dengar kabar perihal sang wanita. Pada sebuah bangku yang tak bertuan dalam kelasnya, ia tatap dengan sungguh. Menghayal wanitanya sedang duduk dan tersenyum kepadanya. Genap sudah satu bulan setelah perginya Amanda dan akhirnya fakultas memvonisnya telah berhenti dari perkuliahan. Resah tak kunjung berhenti mencumbui lelaki itu, di setiap langkahnya tak henti terlintang tanya dibenak:  "kemanakah perginya". Ia berharap setiap langkahnya mampu menuntun ia menuju jalan keberadaan Amanda. Tak pernah jemu merapal doa agar dipertemukan lagi oleh pemilik cipta. Bertemu dengan karunia yang dirindukannya. Apa salahnya jika memang ingin bertemu, tanyanya dengan semesta. Sejak itu senja adalah teman terbaik untuk melarutkan sedihnya. Tak pernah bosan ia menatap senja, sebab rasa sedih dan geram bercampur aduk didalamnya. Toh intinya sama, baik sebelum maupun sesudah kejadian pilu yang menimpa ujungnya ia suka dengan senja. Menikmati warna jingga yang ditawarkannya. Lelaki itu terbunuh oleh senja.

Subscribe to receive free email updates:

5 Responses to "Tak Pernah Bosan Menatap Lekat Senja"

  1. Wihh, sedap sekali gan kata-kata nya.... Sepertinya yang nulis seorang pujangga nih πŸ˜ŠπŸ‘Œ keren gan lanjutkan ! πŸ‘

    ReplyDelete
  2. Ini yang dinamakan lamunan senja, wih bikin baper, hihi, saya baper bacanya..
    Bagus ceritanya πŸ‘Œ

    ReplyDelete
  3. Kata-katanya bagus dan banyak makna yang bisa kita ambil, lanjutkan karya-karya selanjutnya

    ReplyDelete
  4. Cerita yang bagus. Alurnya enak dan diksinya indah. Semoga selalu sukses. Salam pecinta senja.

    ReplyDelete
  5. Gan sekedar saran yah.. Kalau bisa font artikel nya dirubah seperti font di komentar.. Kayanya lebih mantaf lagi nih.. Hehe

    ReplyDelete