Sunyi Bercerita Tentang Harap Yang Rapuh

Sunyi Bercerita Tentang Harap Yang Rapuh



Duduk termangu, memandangi mulut cangkir berisikan oleh kopi, menikmati dingin yang disajikan oleh alam. Sepinya sesekali diusir oleh riuhnya suara papan tik. Mengetik apa saja yang terngiang di dalam tempurung kepalanya. Sesekali juga tangannya berhenti menari diatas papan tik, menyeruput hangatnya kopi sembari menyulut sebatang rokok mengusir kejenuhannya. Ia berhenti sejenak, mengherani gerimis yang tak kunjung-kunjung reda membasahi bumi sejak kemarin senja, sama seperti dirinya yang tak pernah reda menghujani harap pada seseorang yang telah dimiliki oleh orang lain.

Ia adalah seorang penulis namun menulis sebenarnya bukanlah kegemarannya. Tapi apalah daya sebab takdirnya hanya menjadi sebuah wadah bagi seribu satu kisah yang penuh akan kesenduan. Ingin curhat tapi siapa yang ingin mendengar keluh kesahnya. Melontarkan keluhan kepada psikolog tentulah tidak cuma-cuma. Cukuplah ia tuangkan saja dalam bentuk aksara atas apa yang dirasakannya. Mengail ribuan kata-kata pilu untuk menggambarkannya. Seolah jadi isyarat bahwa pahit yang selalu ditelannya.

Jalanan sepi hingga burung enggan berkicau, saat yang tepat untuk menulis. Hanya saja tulisan yang ia hasilkan selalu tentang kesedihan. Jikalah tentang kebahagiaan tentulah ia mengarang. Berbohong pada dirinya sendiri dan para pembaca. Sebab sebuah kebahagiaan baginya hanyalah kejadian semu adanya. Jika kau pernah membaca salah satu saja dari karyanya maka nampaklah kau akan suram yang dikandungnya. Tak luput ia menyertakan kalimat galau di dalam tulisannya, seperti: "kau tahu kenapa gerimis tak kunjung reda, sebab langit tak mampu menahan senduku". Bah, tumpah segala rasa menghamburkan imajinasi para pembaca, seolah menginspirasi pembaca untuk gantung diri secara massal saja.

"Ah, betapa mudahnya hati jatuh cinta" lenguhannya lirih. Karena sepanjang cinta yang ia rasa, sepanjang itulah sakit diderita. Barangkali hanya ia yang rasakan saja. Sebab kau tengoklah orang diluar sana, betapa bahagianya mereka oleh cinta. Ia kata karyanya inspirasi kita, namun sebenarnya tak lebih dari teori konspirasi bunuh diri yang dibuatnya. Resah tak pernah berhenti mencumbui, menempel tiada henti bak benalu rupanya.

Kau tahu kenapa kopi terasa begitu nikmat, sebab rasa pahit dan manis berpadu didalamnya. Namun apa jadinya jika pahit yang ia tuai terus terusan. Sejatinya ia bubuk kopi yang murni bahkan, hanya saja ia belum menemukan gula saja. Adapun ia temukan gula, gula milik orang lah pastinya. Selalu jadi orang ketiga, apa bagusnya. Bahkan ia menantikan saat-saat dirinya jadi orang pertama dalam sebuah drama. Tapi apa bagusnya juga jadi orang pertama ketika ada orang ketiga diantara hubungannya. Ia takut jalin asmara sebab pikiran negatif selalu mengusik benaknya. Jadi orang yang pesimis, itulah ia.

Ia bakar sebatang rokok lagi, dihisapnya dalam-dalam hingga asap merajah seisi paru-parunya. Ia lanjutkan menggerakkan jarinya pada papan tik. Kepala rasanya ingin pecah saja memikirkan kegalauan yang tidak ada ujungnya. Mengendap-endap ria, dan membunuhnya secara perlahan rasanya. Masih berharap tapi tak diharapkan. Masih merindukan tapi tak dirindukan. Bahkan ia bertanya pada diri sendiri apakah dia hanya sebuah fatamorgana. Benar-benar semu dimata semua orang. Bukan, dia bukan fatamorgana, sebab fatamorgana mungkin masih dihiraukan oleh banyak orang. Melayangkan harapan, masih tak pernah lelah. Baginya yang terpenting selalu mengharap walaupun kekecewaan yang selalu datang. Memberi walau tak pernah diberi. Mengejar walau yang dituju tak pernah berhenti. Sesedih apapun ia tak pernah ada yang mengusap air matanya. Setidaknya bumi bersyukur sebab daun membantu usap tangisnya.

Sebab langit tak henti-hentinya muram, tak terasa sudah kembali senja sejak gerimisnya. Namun tak dijumpainya sinar senja berhambur menghias horison. Masih gumpalan awan kelabu yang terekam oleh retina matanya, memperkuat kesan semu didalam relasinya. Apakah pelangi tak hendak sedikit pun untuk menjumpai dirinya. Bosan mulai menghantuinya. Merasa atas segala yang dilakukannya berujung sia-sia. Ia tanggalkan segala asa. Tersadar atas segala ego yang diturutinya. Nyatanya berharap tidak dilarang, hanya saja terlalu mengharap justru akan merapuhkah kita pada akhirnya.

Subscribe to receive free email updates:

3 Responses to "Sunyi Bercerita Tentang Harap Yang Rapuh"

  1. Bagus, mirip esai-esai ringan Dee. Diperkuat gan karakter si tokoh. Sukses selalu

    ReplyDelete
  2. Pas baca, seolah-olah saya ikut masuk ke dalam ceritanya gan. Benar-benar terbawa suasana

    ReplyDelete