Ingatan Menuntunku Kembali Kecewa Pada Satu Masa

Ingatan Menuntunku Kembali Kecewa Pada Satu Masa





Waktu menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit atau sebut saja jam setengah enam mudahnya. Embun pada pagi buta terdispersi, menyatu dalam udara yang ketika dihirup benar-benar terasa menyejukkan rongga dada. Di waktu inilah mimpi-mimpi manusia yang sedang terlelap mulai terbunuh satu demi satu. Kokok ayam pun riuh bersahutan, kicau burung kian bertubi-tubi menghantam pendengaran ini, bagai sedang merapal naskah syukur kepada sang pemilik cipta. Aktivitas pagi ku masih sama seperti biasanya, berdendang ria sembari membuat kopi dan menggoreng pisang sebelum berangkat kembali mengais rupiah. Setidaknya aku bersyukur, memiliki tempat kerja yang tidak terpapar sinar matahari sehingga tidak menerbitkan peluh sebesar biji kacang hijau yang siap untuk disemai dan sangat minimalis terhadap segala bentuk gerakan. Jika memang ada gerakan tentulah hanya sekedar menarikan jari diatasi papan tik saja. Namun mungkin sesekali pusing datang menghantui.

Ya, aku seorang karyawan disebuah perusahaan. Sebagai seorang yang masih sendiri, itulah rutinitasku setiap pagi. Menikmati secangkir kopi dan pisang goreng buatan sendiri, sembari menyulut barang satu atau dua batang sigaret sebagai penenang diri. Tentulah seusai mandi dan bersiap-siap untuk berangkat menuju ke tempat kerja. Disanalah terdapat seorang pegawai yang benar-benar mampu membangkitkan gairahku untuk bekerja. Hani namanya.  Seorang wanita yang supel, cekatan, dari cara bicaranya ia terlihat begitu pandai dan tak ketinggalan wajah cantiknya pula. Lelaki mana yang tak heran dengan berbagai kesempurnaan yang dimilikinya. Sungguh anggun parasnya bagai sebuah karunia yang tak terhitung harganya. Bahkan atasan kami pun kerapkali mendayu- rayu untuk meluluhkan hatinya. Tapi secara logika wanita mana yang ingin merajut cinta dengan pria berkepala lima dan tak luput telah bercucu pula. Sungguh lupa usia.

Seusai menikmati camilan pagi buatan sendiri dan mengingat waktu yang tak hendak berhenti, bergegas aku berangkat dan tak lupa mencangking selempang hitam yang berisi berbagai alat tulis dan lembar kerja yang telah ku siapkan semalam. Terkadang terlintas di benak ini, alangkah mudahnya jika aku memiliki seorang istri. Apa yang akan dibawa ke kantor telah disiapkan, sarapan tak pernah ketinggalan dihidangkan, baju selalu disetrika kan, bahkan sebelum berangkat kerja aku bisa berpamitan. Wah rasanya seperti sebuah angan saja. Mana mungkin bisa aku mendapatkan wanita dengan karakter yang kumiliki, pendiam, tak acuh dan sok dingin. Bahkan aku menyukai Hani dalam diam. Entahlah dia tahu atau tidak.

Dalam perjalanan ku menuju tempat kerja, ada suatu hal yang terasa sedikit mengusik tiap langkahku. Ada seorang wanita yang diam-diam tak pernah jemu mengikutiku. Tak cukup barang sehari ataupun dua hari, bahkan tiap hari. Entahlah apa yang sedang ia coba selidiki. Pada awalnya ku kira ia seorang copet, pencuri, bahkan pembunuh atau sebangsanya. Toh, jika di kaitkan secara rasionalitas harusnya aku tak perlu khawatir berlebih menghadapinya, karena jika dinilai dari segi fisik tentulah ia tak akan menang. Jadi peluang dan persentase ia berhasil melakukan aksinya tentulah sangat kecil. Namun semua perspektif itu berubah seketika kala suatu masa aku mendapati ia sesekali menatap lekat diriku dengan mata yang berkaca kaca. Dan perlahan beberapa bulir bening turun menelusuri tiap kontur pipinya. Awalnya ku kira bukan diriku yang jadi tempat lesatan tatap itu bersarang. Namun pada suatu hari tepat hanya aku seorang yang berdiri menunggu kedatangan bis, dan dari terminal seberang jalan nampak lah ia sedang menatapku sembari mengusap percikan cairan yang berkali kali lepas dari mata sayunya. Cukup untuk menjelaskan bahwa siapa yang sebenarnya mata itu tuju. Terheran aku dengan gelagatnya.

Sampailah pada suatu malam setelah aku menyelesaikan amanat dari atasan untuk bekerja terlampau keras atau sebut saja lembur mudahnya. Dan sebelum malam makin beranjak menjadi pagi segera ku berkemas dan segera ku pulang. Udara dingin mengiringi langkah ini dan berjuta tanya menyeruak di hati. Sebab wanita itu masih saja menguntiti ku malam ini. Sengaja aku berjalan melewati sebuah lorong yang temaram oleh gelapnya malam, sangat minim akan penerangan. Ku perlebar langkah dan berhenti tepat ditengah lorong seraya mengumpulkan keberanian untuk menanyakan atas segala tindak tanduknya yang demikian. Lalu singgah ku di sebalik tiang yang sudah tak lagi berlampu, membenamkan diri di sebuah sudut yang membuat tubuh ini tak lagi terekam oleh retina mata penguntit itu. Terjebak dalam bingung wanita itu, tak sadar hingga kepalanya celingak-celinguk dan bola matanya tak henti melirik ke sana kemari, memburu pandang dengan liar, kemana perginya sosok yang sedang ia intai. Setelah ia masuk kedalam radius sembunyiku, segera ku raih lengan wanita itu. Kutarik hingga tubuhnya terseret dekat sekali dengan tempat berdiri ku. Dan bola mata kami saling bertemu.

Dengan jarak sedekat itu, pandangan kami saling beradu. Tatapannya yang begitu teduh seolah ingin menceritakan sebuah kisah yang begitu meng-aduh. Lalu perlahan seperti ada yang hidup di dalam ingatanku. Wajahnya tampak begitu familiar sekali hanya saja terlihat sedikit perbedaan karena kali ini matanya terlihat begitu sayu dan membiru. Bagai tak pernah libur matanya menganak hujankan tangis. Benjolan di bagian lengannya benar benar mengusik telapak tangan ku. Sepertinya aku pernah tahu darimana bekas luka ini didapat. Pusing semarak mengendap di kepala ini, rasanya seperti ilusi yang membuat ku hampir tak sadarkan diri. Seolah cerita selama beberapa tahun meluncur cepat, terangkum secara padat terselesaikan dalam hitungan detik. Iya aku ingat semuanya. Ingat semua tentang wanita ini, ingat masa-masa kelam yang begitu mencekam.

Kejadian menyedihkan ini terjadi beberapa tahun silam. Kami sebenarnya adalah rekan satu kelas ketika menempuh pendidikan Pascasarjana. Kami pun begitu dekat. Baginya kedekatan ini hanya sebatas kisah persahabatan. Namun berbeda halnya dengan yang kurasakan. Didalam kedekatan ini diam-diam aku menanam sebenih harap. Tapi bisa berkata apa aku jika hanya dianggap sebatas itu. Tetap kujalani kisah semu ini, toh intinya dia bahagia walau hati ini menahan sakit dihunjam oleh argumen yang ia untai tanpa rasa dosa sedikit pun. Cinta dalam diam, tiada bosan ku merapal doa semoga semesta menakdirkan kehadirannya sebagai pelengkap kisah di hari tuaku. Tuhan sungguh mengabulkan doa ku, hanya saja tak sejalan dengan apa yang jadi rencana ku

Setelah kami usai menempuh pendidikan Pascasarjana, meski  jarak antara kami yang terbentang tapi kami tak pernah putus dalam segala bentuk komunikasi apapun. Terlebih kedua orang tuanya, yang telah akrab dengan kehadiranku. Namun sampailah pada masa terjadinya sebuah kecelakaan kala itu. Hanya saja bukan kecelakaan fisik tapi berkenaan dengan  psikis. Ia dinodai oleh seorang pria yang tak tahu apa arti dari sebuah tanggung jawab. Dan terperanjat ku bukan main, ketika ku tahu bahwa pria itu tak lain adalah kekasihnya ketika kami masih di Pascasarjana dahulu. Hebat betul ia menggagahi anak orang semaunya sendiri. Terkutuklah pria itu. Sumpah serapah keluar dari mulut ayahnya sebab tak mampu lagi menahan rasa malu atas segala bentuk cibiran dari tetangga kanan kirinya. Tak tega melihat pemandangan seperti itu, layaknya seorang pahlawan kesiangan, spontan tubuh ku tertunduk dihadapan sang ayah, aku meminta restu akan meminangnya. Sebagai solusi bagi masalah yang tak hendak terbubuh sebuah titik ini. Tak kuasa lagi aku melihat sang ayah tak henti memaki.

Dengan jangka waktu yang begitu  singkat kami pun mengadakan resepsi pernikahan. Resepsi kami cukup sederhana tak begitu besar. Dan tak terasa genap sudah enam bulan setelah resepsi digelar.  Namun belum ada seutas kebahagiaan membumbui kehidupan rumah tangga kami. Benar-benar canggung sekali.  Bahkan tak pernah aku menyentuh barang sehelai rambutnya sekalipun. Berteduh di bawah atap yang sama namun terlelap dikamar yang berbeda. Namun tak cukup dengan musibah yang ada saat ini muncul lagi musibah lain datang kembali. Ini berakar sebab kurangnya perhatian ku terhadap dirinya. Aku terlalu sibuk sebagai seorang manajer hingga lupa akan kondisinya yang seharusnya memerlukan perhatian ekstra. Ia jatuh terpeleset ketika mandi, yang membuat sang jabang bayi yang dikandungnya gagal memecahkan tangisnya ke dunia. Seusai kejadian itu jadi linglung lah ia. Depresi berat.

Destruksi diri mulai menyelimuti pikirannya. Mengabaikan segala rasionalitasnya. Seminggu selepas kepulangannya dari rumah sakit, entahlah apa yang ada di otaknya. Kudapati ia memotong aliran darah tepat di urat nadi bagian lengannya. Tergeletak tak berdaya setelah mencoba mengakhiri hidup yang tak begitu baik jalannya. Segera kuraih tubuh yang bersimbah darah yang kian memerah itu. Layaknya seorang yang sudah kemasukan setan, ku bopong tubuh itu berlari menuju ke rumah sakit terdekat. Secara, ku kira luka fisiknya sudah sembuh setelah keluar dari rumah sakit sebelumnya. Tanpa ku sadari bahwa belum sembuh total rupanya sakit psikis yang dideritanya. Setelah mendapat penanganan yang tepat dari dokter akhirnya ia kembali sadar. Namun bukannya sebuah untaian terima kasih keluar dari bibirnya, melainkan justru sebaliknya. "Siapa yang suruh mu untuk menyelamatkan ku. Aku sudah bosan hidup dan kau halangi jalanku menuju ajal. Apa sih mau mu. Kau pikir setelah sekian lama aku bisa menerima kehadiran mu sebagai suamiku. Berhentilah berharap yang tidak tidak dan urus saja urusanmu sendiri", ucapnya.

Tanpa berpikir panjang setelah mendapatkan perlakuan seperti itu, berlari ku meninggalkan tempat tubuh malang itu terebah. Dasar tak tahu diuntung lenguhku lirih. Beranjak ku menuju tempat menghilangkan rasa depresi, sebut saja bar lebih tepatnya. Ku tenggak Vodka sampai habis sepuluh botol hingga tak mampu lagi rasanya membawa tubuh ini. Masih dalam keadaan mabuk aku mencoba pulang. Memegang kemudi dalam keadaan setengah sadar dan akhirnya kendaraan ku mengadu keras dengan sebuah plang pembatas jalan dan terjun bebas terlempar menjajaki jurang. Selebihnya tak ada lagi yang dapat kuingat.

Subscribe to receive free email updates:

4 Responses to "Ingatan Menuntunku Kembali Kecewa Pada Satu Masa"

  1. Kisah fiktif atau realitikah ini, mas ?.
    Kayak cerita sungguhan terjadi.

    Bagus jalinan ceritanya, mas.
    Terus berkreasi ya ..

    ReplyDelete
  2. Bagus alurnya mengalir. Pesannya jg dapet. Terus berkarya.

    ReplyDelete
  3. Keren gan.. Salam kenal kurazone.net

    ReplyDelete
  4. Sangat meresap gan kata-kata nya. Semangat untuk berkarya lagi

    ReplyDelete