Perpisahan Yang Tak Butuh Sebuah Pamit

Perpisahan Yang Tak Butuh Sebuah Pamit




Kita tak pernah tahu bahwa hal yang paling bahaya di dunia ini adalah waktu. Seakan langit perlahan runtuh. Tengger ayam kala fajar tiba bagiku tak ubahnya sebuah lolongan saja. Bukan hari esok yang kuinginkan, hari kemarinlah yang kurindukan. Mata ini makin lebam saja, tiada hentinya air mata berderai seolah tak mau surut. Menangisi apa yang tak bisa kuraih lagi, tak bisa kubelai bahkan tak dapat ku genggam jemari lentik itu lagi. Bom waktu meledak meluruhkan segala cita, cinta, bahagia dan asa. Tak ada satu kata pun yang mampu keluar dari mulut ini. Berat, hanya air mata yang bisa mewakilinya. Tak percaya lagi ku akan semesta, kenapa tega merebut segala bahagiaku. Sengal dirasa dada ini, yang ada dibenak ini hanyalah bagaimana jika ku menemuinya saja, menemuinya di suatu tempat, tempat yang tak bisa kuraih ketika jiwa masih menyatu dengan raga, alam baka namanya. Sudah berhari-hari mulut ini tak menelan suatu apapun, biarlah aku mati tak ada guna aku telalu lama di dunia setelah kepergiannya. Nyatanya memang benar jika pertemuan pasti berujung pada perpisahan dan kita akan pernah tau rentang periode hingga perpisahan itu datang.

Indah namanya, seindah rupanya. Matanya bagai purnama yang utuh sepenuhnya. Sungguh bulat tanpa cacat sedikitpun, membuat hati ini terbuai sampai tak ada satu keraguanpun aku padanya.  Suaranya bagai gemericik air di sungai, sungguh terdengar syahdu, sangat menenangkan kalbu. Aku dan dia bagai sebuah sepatu ketika satu hilang maka tak lengkap sudah. Karena sejatinya kami saling melengkapi, jika ada satu yang cedera maka yang lainnya memapah. Kami saling mengerti satu sama lain, jika dikatakan tidak pernah ada pertengkaran sama sekali  itu naif saja, karena nyatanya setiap hubungan pasti akan ada saja halangannya, tapi pertengkaran kami tak pernah sampai berlarut-larut, satu barangkali dua hari, mungkin paling lama seminggu hingga akhirnya kami akur kembali. Karena arti dari kata mengerti satu sama lain itu luas adanya, bisa saja diartikan sebagai memaafkan satu sama lain. Kisah kami tidaklah sama seperti kisah cinta seorang bangsawan, kisah kami sederhana akan tetapi diatur baik sedemikian rupa oleh sang pemilik cipta. Tiada hentinya ku bersyukur karena telah dipertemukan olehnya. Hingga akhirnya rasa syukur itu berubah menjadikanku makin lupa atas nikmat-Nya. Rasa cintaku padanya tak tertandingi oleh rasa cintaku pada siapapun. Seolah telah kulimpahkan seluruh hati ini padanya hingga tak sadar untuk menyisakan cintaku pada tuhan, dan itulah awal mula memicu tuhan cemburu padaku.

Hubungan kami mengancik dua tahun, dan seperti manusia awam lainnya kita tak tahu apa yang akan terjadi pada hari esok. Ternyata dua tahun itu tidak genap jika ada beberapa bulan yang hilang, sama seperti kisahku yang tak genap ketika keping-keping kehidupannya menghilang.

Semua bermula ketika kami sedang berjalan bersama. Bersantai berdua di sebuah kafe yang letaknya tak terlalu jauh dari universitas. Malam itu aku benar-benar merasa bahagia walau ada sesuatu yang benar-benar janggal rupanya. Ia ungkapkan segala bahagianya saat bersamaku, menghabiskan waktu bersamaku. Hingga pada akhirnya ia berucap: "Abang jangan menyesal ya karena bertemu dengan adek, cukup abang ingat dan simpan saja segala yang pernah terjadi selama ini dalam ingatan abang, adek gak mau pisah sama abang" sambil terisak-isak ia rupanya. Perlahan ku usap tiap-tiap titik air mata yang menelusuri wajah cantiknya. Kami pun pulang. Malam itu adalah malam sebelum libur semester genap perkuliahan dimulai. Esok Ia akan pulang kampung, tak biasanya ia berucap seperti itu karena hakikatnya kami berpisah sementara sebab kami berasal dari daerah yang berbeda. Tiada terkira bahwa semalam adalah malam terakhir ku berjumpa dengannya. Terakhir ku mendekap tangannya yang lembut, membelai mesra kepalanya. 

Ia benar-benar tidak bisa ku hubungi pagi esok harinya dan rasa cemas pun pasang tak beraturan bagai hendak menelan alam. Hingga tibalah saat senja, coba ku ulangi untuk menghubunginya lagi, namun kali ini suara muncul berbeda dari yang kudengar biasanya. Suara yang kudengar bukan suaranya. Ternyata suara wanita yang terisak liar sampai apa yang diucapkannya terlalu semu untuk ditangkap oleh otakku. Perlahan aku mengenali suara itu, suara ibundanya. Tak sadar air mataku meleleh setelah semua ucapan ibundanya mulai terdengar jelas bahkan sangat jelas hingga menggema di kepala ini. Yang mampu kulakukan setelah itu hanyalah menangis, menangis dan menangis. Lemah terasa sekujur tubuh,  hendak berdiripun lututku tak kuasa. Hendak mangap pun tak tega. Hendak teriak pun tak pantas. Apa yang bisa kulakukan tuhan setelah bahagiaku kau rengkuh dari tangan kecilku ini. Kenapa kau mengirimkannya jika kau hendak mengambilnya lagi tanpa seizin ku. Aku pun sadar bahwa tiada tuhan perlu izinku atas perkara yang ia pula menciptakannya. Jika ia mau ia juga mampu mengambil nyawaku, makhluk ciptaannya. Aku pun tersadar kita hanyalah sebuah mainan yang setiap gerak-gerik kita semuanya telah ditentukan oleh sebuah skenario yang bahannya bukan dari kehendak kita sendiri. Kucukupkan saja segala kisah sendu ini dengan selalu merapal doa tiada hentinya yang kutujukan padanya. Semoga kepingan cerita kita menuntun ku sampai menemukan dirimu lagi di dimensi abadi kelak.

Subscribe to receive free email updates:

7 Responses to "Perpisahan Yang Tak Butuh Sebuah Pamit"

  1. Sepertinya alangkah lebih baik jika sebuah perpisahan diawali dengan pamit, agar doi tidak cemas😁

    ReplyDelete
  2. Ada typo di paragraf 5, kata 'ku' dan hubungi. Harusnya digandeng. Juga di kalimat terakhir, menuntun 'ku' harusnya digandeng.

    Selain itu, ada lagi dari interpretasiku, di sini, Tuhan itu benar-benar Tuhan. Jadi, tuhan dan Tuhan itu berbeda. Harus bedakan juga penulisannya.

    Selain itu, diksinya pas dan enak dibaca. Prosa puisi, jadi ingat sama beberapa puisinya Sapardi Djoko Damono.

    ReplyDelete
  3. Sad ending, malang sekali nasibmu mas admin. Turut berduka cita 😭😭

    ReplyDelete
  4. Tetap saja nuansa galau dan pemilihan diksi menjadi kekuatan. Salut untuk artikelnya.

    ReplyDelete
  5. Astaga bahasanya, enjoy bangat dan baku, saya suka kata2 yang verbal macama diatas:)

    ReplyDelete
  6. Kalo bisa jangan ada perpisahan diantara kita bang wkwkwk

    ReplyDelete