Benih Benci Tumbuh Tanpa Izin

Benih Benci Tumbuh Tanpa Izin




Hamparan sawah mulai menguning sedang langkah ini makin surut didorong oleh rasa putus asa. Sepanjang mata memandang dan sejauh rasa menilai yang ku tahu dulu kita pernah bahagia. Kala itu langit perlahan menjatuhkan bulir-bulir suci hingga benih tak kalap untuk merapal syukur pada sang pemilik cipta. Kau pernah bilang padaku bahwa hujan merupakan sebuah fenomena ketika langit terlampau sendu. Kau gambarkan hujan seolah identik dengan kesedihan. Namun bagiku hujan adalah anugerah, sebab hujan selalu membangkitkan kenangan awal perjumpaan kita yang begitu indah. Tapi tidak lagi kini, setelah relasi semu yang tak kunjung kita sudahi. Tanpa ada sebuah pasti.

Begitu deras angin mengalir, seolah hendak menghempaskan pohon rindang di hadapannya. Pun orang-orangan sawah tak mau kalah, semarak menari mengusir para burung yang dipandang sebagai pencuri butir-butir rejeki. Mata ini tak henti menelisik satu demi satu diantara ribuan biji padi, barangkali aku menemukan cara untuk menyudahi ketidakpastian ini. Kita terlalu membara hingga lupa adanya nestapa. Tak pernah henti menebar janji hingga lupa memberi pasti. Pernah saling cinta namun tak pernah bersama. Pun kita tak pernah memiliki dan berakhir saling benci. Fatamorgana itu begitu indah hanya saja kenyataanlah yang buat kita kecewa. Sebab, semakin sering kita berjanji bagai rutin memupuk benci. Bagi kita kini bertemu pun sudah tak sudi.

Aku masih ingat ketika semangatku tersulut oleh indah rupamu. Barang sehari pun tak ingin aku melewatkan mata kuliah di kampus. Demi menikmati kecantikan mu, pesona mahakarya yang telah disajikan sang pemilik cipta yang tertuang dalam bentuk rupamu. Anugerah sebesar itu, mana mungkin aku menghindarinya. Bahkan menurutku semua lelaki yang satu kelas dengan kita pasti mendamba indah parasmu. Namun bisa dibilang dari sekian lelaki di kelas kita hanya aku saja yang terbilang bisa mendekatimu. Sebuah metode pendekatan yang sederhana, namun menjatuhkan sebenih harap kemudian tumbuh kian merindang, berharap diantara kita bisa lebih dari sekedar teman bicara saja.

Sembuh dari luka masa lalu yang telah mencacati bagian hidupku, tidaklah mudah bagiku. Kau pernah dengar istilah pemberi harapan palsu. Ya, itulah yang dulu menimpaku. Tenggelam dalam rasa takut dengan sebuah baik yang memiliki mau. Larut dalam ragu. Rasa bimbang yang tak menentu. Tahukah kau, jika aku membencimu pastilah bukan karena tanpa adanya sebuah sebab. Aku hanya takut kita terlampau berlama-lama dalam kedekatan tanpa adanya hubungan yang jelas. Takut jatuh kembali pada kubangan masa lalu. Kita bagai dua mata uang logam, dekat namun tak pernah saling sentuh bahkan saling singgung.

Yang kurasakan saat ini tak lebih dari pada sebuah penyesalan. Ujaran kebencian perlahan tersulut dan rasanya memenuhi seisi sudut dada ini, sesak sekali. Kenapa kita harus berteduh dibawah langit yang sama, berbagi udara yang sama dan berpijak di bumi yang sama pula. Aku benar-benar benci itu. Pertemuan denganmu yang dahulu seperti sebuah anugerah kini tak lebih dari sebuah musibah belaka. Kau tahu cahaya senja. Renta, sama seperti harap yang kusandarkan padamu. Dan kini hitam legam yang terbit. Entahlah, tanpa sebab hitam ini terbit dengan sendirinya. Walau nyatanya masih ada lampu-lampu di tiap sudut jalan riuh menerangi malam yang kian temaram. Di kolong langit ini aku ditertawai ribuan bintang dan dipecundangi oleh purnama.

Kesendirianku kini ditemani secangkir kopi dan seutas rokok. Sekedar merelaksasi tiap jengkal syaraf ini. Mencoba merenungi segala yang terjadi. Apakah benci dapat berhenti, jika kita terus menerus saling menghindari. Aku pun tak tahu jika ujungnya begini. Tak henti ku memikirkan hingga ubun-ubun ini serasa ingin pecah rasanya. Bahkan ku buat kopi pun tak semanis biasanya atau lidahku saja tidak berfungsi secara maksimal sebab otak terlalu bekerja terlampau kasar. Ingin rasa benci ini segera usai tapi aku tak tahu langkah untuk meredakannya. Laksana amukan badai yang enggan untuk diminta reda. Mungkin tuhan menjadikan ini sebagai jalan membentuk jarak diantara kita. Sebab sekeras apapun aku berfikir, toh intinya kita bukan siapa-siapa dan pada akhirnya tersadar ku bahwa akulah orang ketiga, mencari perkara dalam sebuah bahagia.

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Benih Benci Tumbuh Tanpa Izin"

  1. Wah, bagus nih, inspirasi kita semua, kata katanya bikin baper, terimakasih min 👌

    ReplyDelete
  2. Kata-kata yang idah, membuatku hanyut dalam imaginasi yang indah. Benar2 menginspirasi, semangat gan!

    ReplyDelete